Rumah sebagai kebutuhan primer merupakan sesuatu yang dibeli dengan penuh pertimbangan. Seiring perkembangan zaman, pertimbangan untuk memilih rumah tidak hanya terbatas pada rumah tapak. Hunian yang memanfaatkan lahan dengan konsep vertikal juga dapat menjadi pilihan masyarakat. Baik rumah tapak maupun hunian vertikal, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kendati demikian, tampaknya rumah tapak masih menjadi primadona bagi masyarakat dari berbagai macam kalangan ekonomi. Sebuah tren yang apabila terus berlanjut dapat menghantarkan pada berbagai masalah.
Berdasarkan riset pasar, rumah tapak menjadi pilihan utama khususnya untuk kalangan pekerja dan keluarga muda. Dilansir dari Rumah.com, Consumer Sentiment Survey H1 2022 mengungkap bahwa di antara responden yang mempertimbangkan untuk membeli hunian dalam waktu satu tahun ke depan, sebanyak 98% memilih hunian rumah tapak, dan hanya 2% yang menjadikan apartemen sebagai pilihan utama.
Tingginya minat penduduk terhadap rumah tapak mengakibatkan lahan perkotaan yang semakin terbatas karena dipadati dengan tempat tinggal penduduk. Harga tanah di lokasi strategis seperti pusat kota pun semakin meningkat. Tanah yang belum termasuk rumah bahkan dapat menyentuh harga milyaran rupiah. Perspektif di antara masyarakat pun berkembang bahwa memiliki rumah tapak menandakan kemapanan seseorang.
Pandangan tersebut juga didukung oleh dua legalitas yang dimiliki saaat membeli rumah tapak yaitu tanah dan bangunan. Membeli rumah tapak sama dengan membeli lahan juga. Masyarakat dapat mengklaim bahwa seluruh bangunan serta fasilitas yang ada di lahan tersebut adalah milik pribadi dan tidak untuk dibagi bersama penghuni lain. Dengan ruang yang luas dan dapat diperluas ketika kebutuhan bertambah, lahan pada rumah tapak yang dibeli dapat didesain dengan sesuka hati sehingga rumah dapat memiliki garasi pribadi, taman yang asri, atau bahkan tempat untuk merawat hewan. Hal ini jelas berbeda dengan apartemen atau rumah susun yang hanya dilengkapi dengan hak guna bangunan saja serta fasilitas yang dibagi bersama dengan penghuni lain.
Berbagai kelebihan rumah tapak tersebut mengakibatkan masyarakat berlomba-lomba untuk memiliki rumah tapak dengan memanfaatkan lahan-lahan yang ada. Namun, dampak dari semua ini adalah semakin terbatasnya lahan perkotaan sehingga kota-kota di sekitar kota besar juga perlu menjadi kota penyangga untuk tempat tinggal penduduk.
Pendapatan yang tak sesuai dengan kelonjakan harga membuat rumah di sekitar perkotaan sulit dijangkau oleh milenial dengan penghasilan yang pas-pasan. Untuk mengatasi hal itu, kebanyakan dari mereka memilih untuk membeli lahan dan rumah yang lebih murah di pinggiran kota meskipun jauh dari tempat bekerja.
Wilayah yang terus berkembang melebar demikian pada akhirnya berdampak pada dua hal. Pertama, semakin jauhnya tempat tinggal penduduk dari pusat perekonomian. Hal tersebut akan berimbas pada pemborosan di sektor tansportasi yaitu tingginya biaya transportasi yang harus ditanggung oleh masyarakat dan subsidi Bahan Bakar Minyak pemerintah semakin besar. Kedua, pertumbuhan pemukiman dan perumahan yang tidak terkendali juga menjadi penyebab utama perkembangan kota yang tidak sehat dan memiliki kecendrungan terjadi penyimpangan dalam penggunaan lahan.
Tampilan pada majalah:
Comments
Post a Comment