Indonesia adalah negara dengan keragaman agama
tinggi dengan prinsip-prinsip kebhinekaan yang harus dijaga. Akan tetapi, dalam
beberapa tahun terakhir, politik identitas terus menjadi perbincangan hangat.
Terlebih lagi menjelang pemilihan presiden yang akan digelar pada tahun 2024
mendatang.
Politik identitas mengacu pada agenda, aksi, dan
aktivitas politik yang berdasarkan pada identitas kelompok seperti ras, agama,
etnisitas, gender, orientasi seksual, atau karakteristik sosial lain. Mereka
yang mendukung politik identitas beranggapan bahwa kelompok-kelompok ini harus
diperhitungkan secara khusus dalam proses pembuatan kebijakan agar kepentingan dan
hak-hak mereka dapat terwakili dengan baik.
Perdebatan tentang politik identitas mencapai
puncaknya dalam konteks pemilihan umum. Hal ini dapat dilihat dari berbagai
pernyataan dan tindakan tokoh-tokoh politik yang lebih menonjolkan identitas
kelompoknya dalam upaya untuk memperoleh dukungan massa.
Beberapa kalangan menganggap bahwa politik identitas
dapat memecah belah masyarakat mengingat risiko timbulnya konflik akibat
penonjolan perbedaan identitas. Isu-isu yang berkaitan dengan identitas,
termasuk agama, etnis, dan kebudayaan, dapat menjadi pemicu perpecahan dan
ketegangan di tengah masyarakat.
Melihat perdebatan terkait politik identitas
tersebut, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin, Muhammad Chaeroel Ansar
mengatakan bahwa salah atau tidaknya hal ini tergantung dari perspektifnya.
“Dari perspektif political praktis atau praktik
politik mensahkan atau memungkinkan terjadinya politik identitas karena tidak
ada satu pun identitas atau kelompok yang terlepas dari identitas. Jadi apa pun
manusia di muka bumi ini entah itu dia berdiri sebagai individu atau pun berdiri
sebagai kelompok bahkan berdiri sebagai partai politik atau sebagai legislatur,
mereka terhubung pada identitas tertentu,” jelas Muhammad
Chaeroel Ansar.
Meskipun begitu, penting untuk mencatat bahwa
politik identitas tidak dapat dipisahkan dari konteks sejarah, budaya, dan
dinamika sosial masyarakat. Setiap negara memiliki tantangan dan perspektif
yang unik terkait dengan politik identitas.
Di Indonesia, salah satu isu yang sedang menjadi
perdebatan hangat adalah agama. Politisi mencoba memanfaatkan identitas
keagamaan mereka untuk menarik pemilih. Mereka menekankan pentingnya
mempertahankan identitas agama yang konservatif
untuk memenangkan hati dan dukungan sebanyak mungkin dalam pertarungan
politik yang kian kompetitif.
Menurut Chaerul politik berbasis agama atau
spiritualitas bisa jadi etis apabila digunakan di negara barat seperti Amerika
karena islam sangat terpinggirkan di sana. Para politisi dapat menguatkan islam
dengan politik identitas berbasis islam. Akan tetapi, menurutnya hal itu tidak
etis dalam kondisi Indonesia hari ini.
Menurutnya di
Indonesia, islam tidak perlu untuk menguatkan identitasnya dalam politik karena
hampir semua anggota legislatif berlatar belakang agama islam. Selain itu,
apabila melihat dari sejarahnya, politik identitas sebenarnya selalu merujuk
pada kelompok kelompok marginal seperti identitas perempuan, identitas suku,
dan ras.
“Ini sejarah yang kita
bisa pelajari bahwa politik identitas itu selalu berpihak atau merujuk pada
identitas yang terpinggirkan atau identitas yang minor bukan identitas yang
mayor. Nah, apa yang terjadi di Indonesia sebenarnya bukan 100% politik
identitas tetapi itu populisme islam. Jadi gerakan populisme islam, bagaimana
islam dijadikan sebuah politik yang populer di Indonesia” ucap Dosen
Ilmu Pemerintahan Universitas Hasanuddin tersebut.
Meskipun tidak bisa
menjadi jaminan bagi presiden atau calo atau kandidat, Chaeroel sepenuhnya
yakin bahwa politik identitas pasti akan efektif untuk digunakan.
“Nah populisme kalau
kita merujuk pada kerangka yang lebih detail lagi, populisme islam itu sangat
kuat di Indonesia. Kita bisa buktikan melalui beberapa pemilu sebelumnya
seperti di Jakarta, di 2019 bahkan di Kalimantan juga ada, bagaimana identitas
islam itu dipakai atau dijadikan alat untuk menggaet suara mayoritas” jelasnya.
Selain politik identitas, ia juga menegaskan bahwa
terdapat strategi politik lainnya yang akan dijalankan oleh semua partai
politik.
“Strategi yang pertama berbasis program atau
programmatic politic. Yang kedua money politic atau politik uang. Yang ketiga
identity politic atau politik identitas. Nah tiga strategi ini saya yakin semua
partai atau semua kandidat menggunakannya, tidak ada satu pun partai yang tidak
menggunakan ketiga strategi tersebut” ucap Chaeroel.
Menghadapi situasi ini, penting bagi masyarakat untuk
tetap memperhatikan visi, program kerja, dan integritas calon dalam menangani
isu-isu krusial yang dihadapi bangsa ini. Sedangkan, media dan lembaga
pendidikan diharapkan memberikan informasi yang akurat dan obyektif terkait
isu-isu politik termasuk politk identitas agar masyarakat mampu membuat
keputusan yang bijaksana dalam menentukan masa depan negara.
Comments
Post a Comment