Sa’dan To’barana, salah satu kampung di Kabupaten Toraja Utara yang sebagian besar warganya aktif bertenun. Di era yang sudah modern dan serba instan, mereka masih menggunakan alat tradisional dan pewarnaan alami dalam membuat kain tenun. Keunikan tersebut membuat tempat ini populer dan berbagai informasi tentangnya dapat dengan mudah dicari di internet. Namun, saat berkunjung hanya ada toko-toko yang sepi tanpa penenun dan pengunjung.
Setelah beberapa saat
melewati gapura dengan tulisan Tongkonan Puang Ponglabba To’barana’ Sa’dan, mobil
yang membawa mahasiswa jurnalistik dari Universitas Hasanuddin berhenti di
depan sebuah toko. Ukurannya tidak terlalu besar. Namun, ruang di dalamnya
tampak lenggang. Kain tenun dengan berbagai warna tertata rapi di depan dinding
toko yang terbuat dari kayu. Tidak jauh dari kain-kain tersebut terdapat alat
tenun tradisional berukuran besar yang masih digunakan untuk membuat kain tenun
hingga saat ini. Sedangkan, di bagian tengah toko tergantung beberapa produk
yang terbuat dari kain tenun seperti baju, topi, bahkan tas.
Toko ini merupakan toko
pertama yang dijumpai saat masuk ke Sa’dan. Tidak jauh dari toko tersebut terdapat
beberapa toko lain berbaris sejajar. Tiap-tiapnya kurang lebih menampilkan hal
yang sama.
Saya memang tidak
berharap pusat tenun ini akan ramai seperti pasar sore. Namun, tidak pernah
terbayang bahwa pengunjung akan diselimuti rasa sepi seperti ini. Toko-toko
memang terbuka. Akan tetapi, para penenun tidak diketahui keberadaannya. Saat
menyusuri jalan tersebut juga tidak tampak pembeli barang satu orang pun.
Saat sedang
mengira-ngira di mana para penenun, seorang wanita dengan rambut yang sudah
bewarna putih seolah memanggil untuk duduk di teras rumahnya. Di sampingnya
terdapat banyak tumpukan kain tenun dengan beraneka ragam warna.
Ia adalah Mama Ratte’. Penenun yang sudah berusia 84 tahun. Melihat
wajah saya yang penasaran, ia mulai menjelaskan macam-macam dari kain tenun
tersebut. Beberapa di antaranya adalah pa’miring,
pa’bintik, dan pa’ruki. Sambil membentangkan kain tenun berwarna merah, ia
menjelaskan bahwa para pemula dalam bertenun akan mulai belajar dari motif
paling mudah yaitu pa’miring yang
dapat dikerjakan dalam waktu 1 minggu, hingga pa’bintik yang membutuhkan waktu 2 minggu. Saat sudah menguasai
keduanya, barulah diajarkan motif paling susah yaitu pa’ruki yang membutuhkan waktu 1 bulan.
Ketika sedang
berbincang dengan Mama Ratte’, tampak seorang penenun yang lebih muda datang
dan langsung masuk ke toko miliknya. Penenun yang baru tiba tersebut langsung
diserbu oleh mahasiswa yang penasaran dengan kain tenun khas toraja.
Tidak ingin ketinggalan cerita menarik, saya yang sedang berbincang dengan Mama Ratte’ segera berpamitan dan berjalan menuju toko penenun yang baru datang. Ketika mendekat, Mama Clara, penenun dengan rambut pendek sebahu sedang menunjukkan cara mebuat kain tenun dengan alat tradisional. Dipenuhi oleh semangat, para mahasiswa jurnalistik termasuk saya yang memang datang untuk meliput segera mengabadikan momen itu dalam suatu video sambil diselingi wawancara.
Akan tetapi karena
banyaknya mahasiswa di dalam suatu ruangan yang tak begitu besar itu,
pengambilan video menjadi tidak kondusif. Suara dari mahasiswa lain terus masuk
ke dalam video mahasiswa lainnya. Saat sedang gelisah karena hal itu, mata saya
menangkap sosok wanita berbaju hitam dengan rambut yang disanggul rapi sedang
berdiri menyaksikan dari luar toko.
Sebelum para mahasiswa
lain sadar, dengan mata berbinar penuh semangat saya segera berdiri menghampiri
wanita tersebut dan mengajaknya menepi ke toko lain. Sambil duduk di depan toko
yang kosong, Ibu Mining segera menceritakan bermacam-macam tentang tenun toraja
dan pusat pertenunan To’barana.
Sebagai pusat tenun, anak-anak
yang tinggal di desa ini ternyata memang sudah diajarkan bertenun sejak masih
bersekolah. Mulai dari SD, SMP, hingga SMA. Tenun yang telah dihasilkan oleh
anak muda tersebut kemudian dipasarkan di Sa’dan. Informasi yang sedikit
melegakan karena kurangnya jumlah penenun saat para mahasiswa membuat saya
bertanya-tanya tentang bagaimana kelanjutan kain tenun khas Toraja ke depannya.
Ibu Mining pun segera
menjelaskan makna dari objek wisata Sa’dan To’barana sebagai pusat pertenunan.
Meluruskan kesalahpahaman terkait tempat wisata ini.
“Sa’dan To’barana’ ini
sentral tenun. Jadi bukan bahwa banyak penenun di sini, Ini sentra, tenun-tenun
yang dikerjakan oleh keluarga di rumah-rumah dipusatkan di sini” jelasnya.
Ibu Mining kemudian membeberkan
bahwa anak-anak yang diajarkan bertenun tidak hanya perempuan, melainkan juga
laki-laki. Mereka bertenun dalam waktu senggang. Saat sedang tidak ada kerjaan,
sepulang dari sawah atau dari sekolah. Produk yang dihasilkan pun bermacam-macam.
Ada yang menenun selendang dan sebagainya.
“Ada sampai yang udah
kerja. Namanya juga penghasilan tambahan ya, UMKM. Jadi mereka dari dasar
dasarnya udah mulai mandiri.” tutur Ibu Mining.
Untung yang didapat
dari menenun ini memang lumayan. Kain yang tidak mudah mengkerut dan bebas
luntur tersebut dijual mulai dengan harga 50 ribu hingga jutaan rupiah.
Sehingga, tidak ada salahnya saat tumbuh dewasa dan mendapatkan pekerjaan,
bertenun tetap dijadikan pekerjaa sampingan untuk mendapatkan penghasilan
tambahan.
Dalam prosesnya, anak-anak diajarkan menggunakan alat tenun tradisional supaya selalu ada generasi penerus yang mampu menggunakan alat tersebut.
Comments
Post a Comment